Jumat, 30 November 2007

Industri Rokok, antara Kesehatan, Lapangan Kerja, dan Pemasukan Negara

Kamis, 31 Agustus 2000



TIDAK kurang dari 20 juta penduduk Indonesia bergantung pada industri rokok nasional. Sumbangan terhadap negara berupa cukai dan pajak-pajak dari deretan bisnis ini sangat besar. Akan tetapi, kampanye antirokok demi kesehatan, meningkatkan kesejahteraan buruh dan petani tembakau serta pengembangan industrinya, merupakan tantangan yang harus dijawab dalam kerangka pengembangan industri nasional. INDUSTRI hasil olahan tembakau dengan produksi utama rokok, berperan dalam perekonomian. Hal ini dapat dilihat dari beberapa aspek. Pada tahun 1998, penyerapan tenaga kerja termasuk di berbagai sektor terkait mencapai 6,4 juta orang. Dengan efek ganda sekitar 10 persen, berarti kehidupan paling tidak 20 juta penduduk Indone-sia tergantung pada industri rokok. Ini antara lain terdapat pada aktivitas usaha yang menunjang kegiatan pabrik seperti usaha penitipan sepeda, kantin dan rumah pondokan pekerja, kegiatan antar-jemput pegawai, serta kegiatan lain semisal pengerjaan dan perawatan fasi-litas pabrik seperti gedung dan jaringan jalan.

Di samping itu, industri rokok juga mendorong berkembangnya industri dan jasa lain seperti percetakan, periklanan, perdagangan, transportasi, dan penelitian.

Sumbangannya pada pemasukan negara antara lain berwujud cukai rokok yang pada tahun 1998 mencapai Rp 7,5 trilyun. Belum lagi Pajak Pertam-bahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh). Industri rokok juga mendorong peningkatan surplus perdagangan komoditas tembakau dan hasil olahannya yang mencapai 147,79 juta dollar AS.

Menurut jenisnya, industri rokok di Indonesia dapat dibedakan atas dua kelompok utama produk yakni rokok kretek dan rokok putih. Rokok kretek menguasai 87 persen dari total produksi industri rokok. Pembuatannya menggunakan tembakau rakyat ditambah dengan ceng-keh, saus, dan bumbu rokok lainnya. Rokok kretek ini dibedakan menurut cara pembuatannya yakni sigaret kretek tangan (SKT) dan sigaret kretek mesin (SKM). Industri rokok kretek tergabung dalam Gabungan Perserikatan Pabrik Ro-kok Indonesia (Gappri).

Sementara rokok putih yang berpangsa pasar 13 persen, dibuat dengan menggunakan tembakau virginia tanpa menggunakan cengkeh. Pembuatannya menggunakan mesin dan disebut sigaret putih mesin (SPM). Industri rokok putih tergabung dalam Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo).

Sesuai dengan peran yang dapat diberikan baik dalam pemanfaatan sumber daya alam, penyediaan lapangan kerja mau pun sumber pendapatan dan devisa negara, maka industri rokok kretek dan rokok putih perlu dikembangkan sebagai industri inti dalam suatu kluster, agar lebih mampu bersaing.

***

MELIHAT sisi permintaan, potensi pasar dalam negeri masih tergolong subur untuk pemasaran berbagai produk rokok. Bahkan badai krisis ekonomi nyaris tidak menggoyahkan industri ini. Pada saat krisis memuncak, produksi rokok malah naik 2,7 persen, berarti konsumsi rokok meningkat. Pertum-buhan itu di atas laju pertumbuhan jumlah penduduk yang hanya sekitar 1,8 persen. Di samping itu, belakangan ini banyak bermunculan merek rokok baru yang gencar berpromosi.

Potensi ekspor pun cukup besar, karena Indonesia dikenal sebagai salah satu negara pengekspor tembakau di dunia. Dalam lima tahun terakhir, volume ekspornya meningkat 12 persen per tahun, dengan volume rata-rata 34,88 ton per tahun.

Selain tembakau, ekspor rokok putih pun cukup signifikan, yakni 70 persen dari ekspor rokok nasional. Ekspor rokok putih ini dalam lima tahun terakhir meningkat rata-rata 8,4 persen per tahun. Sementara ekspor rokok kretek meningkat rata-rata 4,4 persen per tahun.

Walaupun demikian, kebu-tuhan tembakau untuk rokok putih masih memerlukan suplai impor. Perkembangan impor da-lam lima tahun terakhir berkembang relatif kecil. Namun, volumenya lebih besar dibandingkan dengan ekspornya, yakni rata-rata 42,95 ton per tahun. Selain impor tembakau, Indonesia juga mengimpor rokok kretek dari Malaysia dan rokok putih dari Eropa dan Amerika Serikat. Namun, impor itu cenderung menurun dari tahun ke tahun.

***

DALAM kluster (pengelompokan) industri rokok, industri rokok kretek dan putih merupakan industri inti dari industri hasil tembakau. Industri pendukungnya adalah industri kertas sigaret, filter sigaret, kertas pembungkus, bahan pengemas, percetakan, periklanan dan transportasi, bahan kimia/penyedap, serta industri mesin dan peralatan proses tembakau. Industri terkait adalah cerutu, klobot, dan kelembak menyan.

Industri rokok ini masih terbagi lagi dalam beberapa kluster yakni industri pengeringan tembakau, bahan penyedap, kertas sigaret, filter sigaret, kertas pembungkus, percetakan, periklanan dan transportasi, mesin/ peralatan, serta pengemasan.

Permasalahan utama yang dihadapi khususnya oleh industri rokok kretek saat ini adalah tingginya kadar nikotin dan tar. Untuk SKT rata-rata sebesar 60 mg dan 3 mg. SKM rata-rata 50 mg dan 2,5 mg. Padahal, PP No 81/1999 Pasal 4 menetapkan (sesuai ketentuan WHO) bahwa batas kadar maksimum kandungn nikotin dan tar pada setiap batang rokok yang beredar di wilayah Indonesia tidak boleh melebihi kadar nikotin 1,5 mg dan tar 20 mg.

Usaha yang perlu dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut di atas antara lain dalam jangka pendek, menetapkan kawasan tanpa merokok di lokasi umum seperti sekolah, rumah sakit, dan restoran; tempat kerja; dan angkutan umum. Dalam jangka panjang, bersama instansi terkait dan dunia usaha menyusun program penurunan kandungan nikotin dan tar secara bertahap melalui rekayasa genetika tembakau dan cengkeh bekerja sama dengan Ditjen Perkebunan, serta teknologi pengolahan tembakau dengan mutu seragam.

Di samping itu, beberapa industri penunjang/pendukung yang cukup dominan dalam penentuan daya saing ternyata belum berkembang.

Industri yang masih tergantung diimpor itu antara lain industri kertas mild sigaret, bahan baku filter (asetat tow), bahan pengemas (cellophan film, aluminium foil, dan tear tape), serta mesin/peralatan proses (mesin pembuat dan pengemasan sigaret).

Pada sub-sektor hasil tembakau terjadi penurunan produktivitas tenaga kerja, tetapi keluarannya (output) meningkat, dan cenderung bergerak ke arah industri yang bersifat padat modal. Pemakaian mesin mulai menggantikan sebagian SKT.

***

DAYA saing industri ini ditentukan sejumlah faktor. Tembakau salah satunya. Luas tanaman dan produksi tembakau sampai dengan 1997 mengalami kenaikan. Namun, pada tahun 1998 baik luas tanaman dan produksi turun hingga mencapai 221.802 ha dengan produksi 138.746 ton. Hal ini disebabkan curah hujan yang tinggi dan pengaruh iklim La Nina. Dari keseluruhan luas tanaman tembakau 1998, sekitar 98 persen yakni 218.402 ha adalah perkebunan rakyat. Sisanya, 3.400 ha adalah perkebunan besar negara.

Bahan baku tembakau selama ini tumbuh baik di Indonesia. Suplai bahan baku artinya cukup kecuali untuk jenis virginia tertentu yang belum dihasilkan di dalam negeri. Begitu pula dengan kertas rokok dan filter masih sangat tergantung dari impor.

Di samping itu, sistem perdagangan tembakau cenderung tidak kondusif terhadap minat pengembangan lahan produksi.

Kondisi permintaan tembakau untuk industri dalam lima tahun terakhir meningkat rata-rata 10,6 persen per tahun. Pembuatan rokok umumnya menggunakan tembakau rakyat dan tembakau virginia lokal, serta tembakau virginia tertentu yang harus diimpor.

Permintaan domestik masih besar baik kretek maupun putih, sementara permintaan dunia tidak stabil, cenderung turun karena kesadaran kesehatan. Namun, pasar dunia masih memberi peluang menjanjikan sepanjang persyaratan pasar dan kualitas dapat dipenuhi.

Kecenderungan permintaan dunia lebih mengarah pada rokok ringan (kadar nikotin dan tar rendah) dan luks. Hal ini menuntut teknologi proses pembuatan rokok yang lebih maju dan otomatis.

Dalam hal strategi dan struktur persaingan usaha, kelompok usaha yang ada di dalam negeri terdiri atas 874 perusahaan termasuk usaha menengah besar dan industri kecil. Dari skala menengah besar tercatat tujuh perusahaan investasi asing dan lima BUMN yang masing-masing memiliki derajat spesialisasi cukup tinggi dan membentuk pasar kompetisi monolistik. Pesaing utama asing untuk sepuluh tahun mendatang adalah lima negara yakni Cina, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Korea Selatan.

***

STRATEGI umum kebijakan pengembangan industri harus melibatkan banyak instansi, mengingat perannya yang sangat penting dalam ekonomi dan sosial masyarakat. Ini bertujuan agar tidak terjadi kebijaksanaan yang kurang tepat, dan berbuntut tidak terpenuhinya target cukai dan kemungkinan tutupnya industri rokok.

Dalam hal cukai, penetapan unifikasi tarif cukai tahun 1999/ 2000 untuk tetap mengacu pada empat sasaran pokok, yakni mencapai target cukai Rp 10,16 trilyun, melindungi usaha kecil dan tenaga kerja, serta menciptakan perlakuan yang sama pada semua pabrik rokok. Unifikasi tarif cukai antara rokok kretek mesin dan putih mesin perlu dilakukan secara lebih realistis, dengan tetap mempertimbangkan struktur biaya produksi dan mekanisme harga pasar.

Dalam penetapan kadar nikotin dan tar, perlu mempertimbangkan kesulitan pabrikan rokok kretek skala menengah dan kecil, serta syarat kesehatan. Pembinaan kemampuan kelompok kecil merupakan unsur mutlak dalam mengembangkan industri rokok kretek dan putih.

Depperindag dan Ditjen Perkebunan merencanakan sistem penelitian lima tahunan, khususnya di bidang pembibitan dan peracikan dengan sasaran utama penurunan kadar nikotin dan tar. Selain itu, akan dibuat pula perencanaan jangka pendek pengembangan teknologi industri rokok, pengembangan brand Indonesia, serta deregulasi di bidang sistem tarif cukai rokok dan investasi.

Sementara dunia usaha diharapkan mendorong pengembangan industri kertas rokok dan filter rokok di dalam negeri, serta industri permesinan untuk menghasilkan peralatan produksi pabrik rokok. Selain itu diperlukan upaya diversifikasi pasar, khususnya ke negara berkembang serta mendorong pengembangan produk spesifik, yakni tembakau virginia dan burley, serta rokok ringan.

Suatu kenyataan lain, industri rokok maju tetapi kurang memperhatikan kesejahteraan buruhnya dan petani tembakau. Semua itu patut diperhatikan dalam sistem hubungan kerja yang harmonis, saling menguntungkan. Bila tidak kelak industri rokok akan kerepotan dengan semakin tingginya kesadaran buruh dan petani menuntut hak-haknya.

(HCB Dharmawan)

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0008/31/ekonomi/indu15.htm

Tidak ada komentar: